Alhamdulillah, dua pekan lalu saya mendapat undangan tertulis dari Prof Dr Wildan MPd, Rektor Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh. Di undangan itu saya diajak untuk ikut menjadi peserta Kongres Peradaban Aceh (KPA) II yang di dalamnya ada kegiatan pengiring, seperti seminar internasional, workshop, pertunjukan seni budaya, kemah seniman, dan pameran produk seni.
Perhelatan budaya yang rencananya dihadiri ratusan peserta dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan dari luar negeri itu, diselenggarakan pada 6-7 Mei 2024 di Kampus ISBI, Jantho, Aceh Besar.
Menariknya, saya diundang ke kongres, bukan karena profesi saya seorang guru, melainkan, menurut panitia, sebagaimana yang tertera dalam surat, karena saya budayawan dan penulis.
Acara-acara yang tertera di undangan itu, saya nilai, sangat bagus, urgen, dan langka. Narasumbernya pun sangat mumpuni. Pokok bahasan yang bakal dipaparkan pun sangat relevan dengan situasi kekinian. Apalagi yang mengundang saya orang yang kedudukannya tertinggi di ISBI Aceh dan pernah menjadi senior dan guru saya di FKIP Universitas Syiah Kuala (USK) Darussalam, Banda Aceh.
Ditambah lagi, kapasitas yang disematkan pada saya sangat keren, “budayaan dan penulis”, maka tanpa tedeng aling-aling, apalagi komplain, saya terima saja undangan itu. Lalu, saya mendaftarkan diri dan bertekad untuk ikut kegiatan tersebut.
Setelah saya mendaftar dan identitas saya diregistrasi, saya merenung, dengan kapasitas saya dan dikaitkan dengan keadaan kondisi sekarang, saya harus bisa berkontribusi dan turut urun rembuk dalam KPA kali kedua ini.
Turut urun rembuk, tentunya yang paling efektif sekarang, menurut saya, salah satunya adalah melalui tulisan, di samping melalui dialog-dialog dalam kongres dan seminar nantinya.
Sebagai permulaan, saya membuat tulisan singkat ini. Dahulu, dahulu sekali, tepatnya pada abad ke-16 dan ke-17, di Singkil lahir dua orang pria, tentu bukan sekaligus. Oleh orang tuanya, diberi nama Hamzah Fansuri dan Abdurrauf As-Singkili.
Konon, dua ulama sufi dan pujangga ulung nan tersohor ini, masih ada pertalian famili dalam bahasa Singkil disebut ‘meukaum’ atau ‘badusanak’.
Hamzah Fansuri adalah pakcik Abdurrauf As-Singkili, karena ayah Abdurrauf As-Singkili bernama Ali Fansuri, kakak adik kandung dengan Hamzah Fansuri.
Dikisahkan, dalam perjalanan hidup kedua putra terbaik Aceh Singkil yang berasal dari Persia itu, pernah melanglang buana, mencari ilmu (meudagang) dan berdakwah ke seantero pelosok Nusantara. Bahkan, hingga ke Jazirah Arab, Timur Tengah.
Setelah mendapatkan segudang ilmu dan pengalaman, keduanya mudik ke Aceh. Lalu, pada pangkal nama keduanya ditabalkan syekh (guru) sehingga menjadi Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf As-Singkili.
Keduanya pun menjadi guru, ulama tersohor, penulis, pujangga, dan terus berkiprah dalam khazanah ilmu pengetahuan plus kecendekiawan serta menjadi ‘dedengkot’ di Kerajaan Aceh Darussalam. Sejak masa Sultan Iskandar Muda dan Sultanah Sri Shafiatuddin hingga Sultanah Kemalat Syah.
Syekh Hamzah Fansuri dan Sayekh Abdurrauf As-Singkili, sangat aktif dan produktif menyebarkan ilmu dan melakukan pembejaran melalui dayah-dayah dan majelis-majelis ilmu kepada jemaah dan murid-muridnya. Kemudian murid-muridnya itu menjadi ulama hebat dan berkaliber yang menyebar ke penjuru Nusantara.
Sebut saja di antaranya, Syamsuddin As-Sumatrani (murid Syekh Hamzah Fansuri). Syekh Burhanuddin dari Ulakan Minangkabau, Sumatera Barat, Abdul Muhyi di Jawa Barat, Abdul Malik bin Abdullah dari Terengganu, dan Daud Ibnu Rumi keturunan Turki (murid Syekh Abdurrauf As-Singkili).
Tidak itu saja, ilmu yang dimiliki keduanya, ditorehkan pada risalah dan kitab-kitab berbahasa Melayu bergenre sastra, syair, dan prosa. Yang kemudian, setelah diimplementasikan, ikut mewarnai kehidupan pemerintahan, bernegara, sosial, dan kemasyarakatan. Bahkan, mewarnai peradaban Aceh.
Bisa kita katakan, atas peran signifikan Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf As-Singkil, bersama ulama lain dan petinggi kerajaan yang tangguh, kreatif, inovatif, dan ditopang oleh elemen masyarakat lainnya, peradaban Aceh tertata dengan baik, maju, dan bermartabat dalam bingkai syariat Islam yang kental.
Sebagai bukti, ada “hadih maja” yang sangat populer dan fenomenal di Aceh berbunyi: Adat bak Poteumeureuhom, hukum bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak Lakseumana. Hukom ngon adat, lagee zat ngon sifeut.
Sehingga ketika itu, tak pelak lagi, Kerajaan Aceh Darussalam, menjadi kerajaan terhebat di dunia. Aceh menjadi negeri yang aman, damai, dan sejahtera. Dengan kata lain, negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Bahkan, Aceh Darussalam menjadi pusat tamadun di Nusantara.
Di samping itu, Kerajaan Aceh Darussalam menjadi panutan bagi negara-negara lain sebagai kerajaan yang berhasil merekonsiliasi konflik atau pertentangan yang sebelumnya tak kunjung terselesaikan, yaitu antara Syekh Hamzah Fansuri dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniry tentang paham Wahdatul Wujud. Termasuk pula perbedaan pendapat ulama tentang boleh tidaknya perempuan menjadi raja (sultanah).
Kemudian, kedua ulama itu merupakan pembawa dan pengembang dan terus-menerus melakukan gerakan pembaruan neosufisme sehingga ajaran-ajaran keduanya menjadi sangat dominan masyhur dalam penghayatan agama dalam Kerajaan Aceh Darussalam.
Nah, dalam Kongres Peradaban Aceh II yang berlangsung di ISBI yang panelisnya Wali Nanggroe Aceh, Paduka YM Malik Mahmud Al-Haythar, Ketua Umum PP Diaspora Global Aceh, Dr Ir Mustafa Abubakar MSi, Setdakab Provinsi Aceh, Azwardi, Pangdam IM Aceh, Nico Fahriza, dan Rektor ISBI Prof Wildan, agaknya perlu kita kilas balik (direkonstruksi) pemikiran dan kiprah serta tatanan peradaban yang telah diimplementasikan atau ditorehkan oleh kedua ulama Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf As-Singkili bersama ulama lainnya semasa Kerajaan Aceh Darussalam.
Kemudian, semua itu dijadikan sebagai spirit untuk membangun peradaban Aceh baru. Paling tidak, sebagai opsi alternatif untuk memperkuat spiritualisme dalam rangka mengadang peradaban moderrnisme berbasis rasionalisme dan materialisme yang dikembangkan negara-negara Eropa. Dalam artian, Pemerintah Aceh sekarang, harus menguatkan kembali peradaban Aceh Darussalam dan menyesuaikannya dengan situasi kekinian. Sebab, Aceh adalah bangsa yang sangat besar. Bukan saja dilihat secara fisik, tetapi dari makna kebesaran itu sendiri, seperti sejarahnya, etos juang, militansi, heroisme, dan peradaban masa lalunya.
Kebesaran Aceh ini, bisa tercapai dengan tatanan peradaban yang tinggi dan bermartabat yang dibingkai syariat Islam. Tanpa itu, Aceh sulit maju dan berkembang.